KARAKTER PEMIMPIN
Suatu kali, khalifah Harun Ar-Rasyid memanggil seseorang untuk diangkat sebagai hakim (qadhi).
Orang itu berkata, "Saya tidak menguasai urusan peradilan dan saya pun bukan seorang faqih."
Ar-Rasyid membalas, "Ada tiga karakter dalam dirimu. Engkau memiliki watak mulia (syarof), dan kemuliaan akan mencegah pemiliknya dari hal-hal rendahan. Engkau pun memiliki kesantunan dan kendali diri (hilm) yang mencegahmu dari ketergesaan, dan siapa pun yang tidak suka tergesa-gesa niscaya sedikit kekeliruannya. Engkau juga orang yang gemar bermusyawarah dalam urusanmu, dan orang yang gemar bermusyawarah itu lebih banyak benarnya. Adapun kefaqihan, maka akan ada orang lain yang bergabung kepadamu sehingga engkau bisa belajar darinya."
Orang itu kemudian diangkat sebagai hakim, dan masyarakat tidak mendapati padanya cacat yang bisa dikritik.
(As-Sulthan, h. 64; karya Ibnu Qutaibah. Maktabah al-Azhariyah lit Turots, Kairo, 2002).
(*)
Demikianlah. Karakter itu jauh lebih penting jika masalahnya sudah menyangkut kepemimpinan dan urusan orang banyak. Bukan kefaqihan dan berderetnya gelar akademis, namun watak dasar sebagai pengambil keputusan. Orang yang menguasai banyak teori, jika tidak memiliki performa sebagai pemimpin, hanya akan menjadi peragu yang dipenjara oleh teori-teorinya sendiri, tidak pernah berani berbuat secara nyata.
Rasulullah tidak pernah melepaskan tugas sebagai komandan militer dari pundak Khalid bin Walid, padahal ia tergolong telat masuk Islam dan di dalam pasukan yang dipimpinnya terdapat Sahabat-sahabat agung yang jauh lebih faqih, lebih dulu masuk Islam, dan kelebihan-kelebihan lainnya. Ini karena watak dan performa militer yang dimiliki Khalid tidak disandang orang lain, sehingga kekurangan-kekurangannya bisa dikesampingkan.
Di sisi lain, beliau secara halus menolak memberi jabatan apa pun kepada Abu Dzarr Al-Ghifari, dan menasehatinya agar taat kepada siapa pun amir yang kelak memimpinnya. Padahal, Abu Dzarr ini orang yang diakui oleh Rasulullah sebagai pribadi yang paling jujur ucapannya, dan termasuk As-Sabiqun Al-Awwalun yang sangat teguh. Namun, Rasulullah melihat watak dan performa pribadi Abu Dzarr yang lemah (dha'if) tidak cocok untuk memikul urusan orang banyak.
(*)
Hidayatullah telah mentradisikan pola ini dengan sangat baik. Bahwa, untuk menduduki suatu tugas, sebenarnya yang pertama-tama dibutuhkan adalah karakter yang sesuai dengan tugasnya. Jika karakter utamanya sudah tergenapi, maka kekurangannya bisa ditambal melalui kader-kader lain yang ada di sekitarnya, atau di-upgrade dan diperbaiki sambil jalan. Kecepatan ekspansi dan pertumbuhan Hidayatullah dibangun di atas pijakan ini, bukan kualifikasi dan kompetensi akademis yang kompleks.
Maka, dulu kita sering mendengar seolah-olah ilmu tidak penting, atau Hidayatullah benci ilmu. Sebetulnya, bukan begitu. Akan tetapi, ketika karakter kepemimpinan sudah terbentuk, ilmu-ilmu teoritisnya bisa didapat seiring perjalanan. Jangan menunggu lama-lama. Hal ini sebenarnya juga mengisyaratkan, bahwa setelah ditugaskan dengan kapasitas apa adanya, ia tidak boleh berhenti belajar dan memperbaiki diri.
Sebenarnya, ada banyak teori yang kadangkala tidak diperlukan, karena kasusnya tidak pernah dihadapi. Padahal, Islam mengenalkan prinsip "ilmu al-haal", yakni ilmu dan teori yang baru wajib dipelajari jika sikon (al-haal) yang mendasarinya benar-benar sudah terjadi.
0 komentar:
Posting Komentar