TOLERANSI ANTAR AGAMA MENURUT ISLAM
Dikutip dari Khotbah Jumat Dr. Ali Trigiatno
Ditulis oleh Argo Ganda Gumilar A.md, AK
Jumat (8/1), Toleransi berasal dari bahasa latin tolerare yang berarti memdiamkan atau membiarkan. Menurut wikipedia, toleransi adalah membiarkan orang lain berpendapat lain, melakukan hal yang tidak sependapat dengan kita, tanpa kita ganggu ataupun intimidasi. Dalam konteks sosial, budaya, dan agama toleransi merupakan sikap dan perbuatan yang melaan adanya diskriminasi terhadap kelompok yang berbeda atau tidak diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat, sebagai contoh adalah toleransi beragama yang diartikan di mana penganut agama mayoritas menghormati keberadaan agama lain yang berbeda. Namun, terkadang toleransi antar umat beragama disalah artikan dengan ikut upacara ibadah agama tertentu dan turut serta di dalam perayaan hari-hari besar agama lain. Toleransi yang benar adalah membiarkan pemeluk agama lain nyaman dan aman dalam melaksanakan ibadahnya. Toleransi bukan diartikan mencampuradukkan agama satu dengan yang lain.
Islam membatasi pemeluknya perihal toleransi dengan dasar Surah Al-Kaafiruun ayat 1-6 :
1. Katakanlah, “Wahai orang-orang kafir,
2. aku tidak menyembah apa yang kamu sembah.
3. Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah,
4. dan aku bukan penyembah apa yang kamu sembah,
5. dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah.
6. Bagi kamu agamamu dan bagiku agamaku
Ayat 6 menjelaskan, “Bagi kamu agamamu dan bagiku agamaku” menunjukkan keluasan agama Islam tidak memaksakan Islam kepada orang lain, masing-masing melaksanakan tuntutan agamnya dan tidak mencampuradukkan ajaran agama satu dengan agama lainnya.
Ibnu Ishaq meriwayatkan dengan sanadnya, dia berkata: “al-Aswad bin al-Muththalib bin Asad bin Abdul Uzzza, al-Walid bin al-Mughirah, Umayyah bin Khalaf serta al-Ash bin Wail as-Sahmiy (mereka merupakan orang-orang berpengaruh di tengah kaum mereka) menghadang Rasulullah yang tengah melakukan thawaf di Ka’bah sembari berkata: “Wahai Muhammad! Mari kami menyembah apa yang engkau sembah dan engkau menyembah apa yang kami sembah, sehingga kami dan engkau dapat berkongsi dalam menjalankan urusan ini; jika yang engkau sembah itu lebih baik dari apa yang kami sembah, maka berarti kami telah mengambil bagian kami darinya, demikian pula jika apa yang kami sembah lebih baik dari apa yang engkau sembah, maka berarti engkau telah mendapat bagianmu darinya”. Abd bin Humaid dan selainnya dari Ibnu Abbas bahwasanya orang-orang Quraish berkata: “Andaikata engkau usap tuhan-tuhan kami, niscaya kami akan menyembah tuhanmu”. Ibnu Jarir dan selainnya mengeluarkan darinya juga (Ibnu Abbas-red) bahwasanya orang-orang Quraish berkata kepada Rasulullah: “Engkau menyembah tuhan kami selama setahun dan kami menyembah tuhanmu selama setahun juga”. Namun, Nabi Muhammad SAW. menolak ajakan kaum kafir tersebut, sehingga turunlah Surah Al-Kaafiruun tersebut.
Riwayat lain ketika pembebasan Jerussalem oleh Umar bin Khattab pada tahun 637 M, saat itu pasukan Islam sudah mendekati Jerussalem di bawah pimpinan Uskup Sophronius sebagain perwakilan Bizantium dan kepala gereja Jerussalem. Ketika pasukan Islam di bawah kepemimpinan Khalid bin Walid dan Amr bin Ash mengepung kota suci tersebut, Sophronius tetap menolak untuk menyerahkan Jerussalem kepada umat Islam kecuali jika Khalifah Umar bin Khattab yang datang langsung menerima penyerahan darinya. Mendengar kabar tersebut, Umar langsung berangkat dari Madinah menuju Jerussalem dengan hanya mengendarai keledai dengan ditemani satu orang pengawal. Setibanya di Jerussalem, Umar disambut oleh Sophronius yang benar-benar merasa takjub dengan sosok pemimpin Islam satu ini. Salah seorang yang paling berkuasa di muka bumi kala itu, hanya menyandang pakaian sederahana yang tidak jauh berbeda dengan pengawalnya. Umar diajak berkeliling Jerussalem, termasuk mengunjungi Gereja Makam Suci. Ketika waktu shalat tiba, Sophroniun mempersilahkan Umar untuk shalat di gereja namun Umar menolaknya. Umar khawatir kalau seandainya beliau shalat di gereja tersebut, nanti umat Islam akan mengubah gereja itu menjadi masjid dengan dalih Umar pernah salat di situ, sehingga mendzalimi hak umat Nasrani. Pada akhirnya, Umar shalat di luar gereja, lalu tempat Umar shalat tersebut dibangun Masjid yang bernama Masjid Umar bin Khattab.
Membaca cerita tersebut, Umar bin Khattab mengkhawatirkan umat Islam pada zamannya dan pada zaman setelahnya apabila Umar shalat di dalam gereja, maka tidak menutup kemungkinan gereja akan diambil alih menjadi tempat ibadah umat Islam. Maka cukuplah bagi Umar bin Khattab bertoleransi dengan mengadakan perjanjian dengan Sephronius untuk menjaga harta, keamanan umat bergama di Jerussalem termasuk membiarkan gereja, salib-salib berdiri, masyarakat bebas menjalankan ibadah masing-masing tanpa ancaman, melindungi orang-orang lemah dan tidak memperbolehkan orang-orang Yahudi tinggal di Jerussalem (permintaan penduduk Jerussalem sendiri, karena saat itu penduduk Jerussalam tidak suka dengan orang-orang Yahudi yang banyak membunuh tawanan Nasrani di wilayah Persia).
Saat ini, banyak toleransi antar umat beragama yang disalah artikan sehingga muncul pendapat yang berbeda-beda yang justru membingungkan kebanyakan masyarakat awam. Dengan ini mari kita kembali ke Islam yang kaffah yang sesungguhnya dalam menerjemahkan toleransi. Umat Islam saat ini seharusnya tetap berpegang teguh terhadap Al-Qur’an dan sunnah dalam melaksanakan toleransi di kehidupan bermasyarakat terutama di Indonesia. Islam hanya mengajarkan toleransi duniawi atau muamalah antar umat beragama bukan toleransi yang menyangkut amalan hidup di akhirat atau ibadah. Kita dianjurkan saling tolong menolong antar sesama manusia untuk mewujudkan kedamain dunia. Semoga Allah SWT. selalu memberikan hidayah kepada kita semua. © 2016
Minggu, 10 Januari 2016
Home »
Tsaqofah
» TOLERANSI ANTAR AGAMA MENURUT ISLAM
Dikutip dari Khotbah Jumat Dr. Ali Trigiatno
Ditulis oleh Argo Ganda Gumilar A.md, AK
0 komentar:
Posting Komentar