This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 13 Februari 2016

Toko Istri

Toko Istri
.
Sebuah toko “yang menjual istri"
.
Baru saja dibuka di sebuah kota di toko tersebut Laki-Laki dapat memilih istri
.
Namun seseorang harus Mengikuti aturan main yg tertera di Pintu masuk toko tersebut :
.
“Seseorang hanya dapat Mengunjungi toko ini SATU KALI”
.
Toko tersebut terdiri dari 6 lantai Dimana setiap lantai akan Menunjukkan sebuah calon kelompok istri
.
Semakin tinggi lantainya Semakin Tinggi pula nilai wanita tersebut
.
Bagaimanapun, ini adalah semacam jebakan
.
Seseorang dapat memilih wanita di lantai tertentu atau lebih Memilih ke lantai berikutnya tetapi dengan syarat tidak bisa turun ke lantai sebelumnya kecuali untuk keluar dari toko.
.
Lalu…
.
Seorang Laki-Laki Pun Pergi Ke Toko “istri” tersebut untuk mencari Istri …
.
Di lantai 1 terdapat tulisan seperti ini :
.
Lantai 1 : wanita di lantai ini memiliki pekerjaan dan taat pada Tuhan.
.
Laki-Laki itu tersenyum,kemudian dia naik ke lantai selanjutnya.
.
Di lantai 2 terdapat tulisan seperti ini :
.
Lantai 2 : Wanita di lantai ini memiliki pekerjaan, taat pada Tuhan, dan senang anak kecil. Kembali Laki-Laki itu naik ke lantai selanjutnya.
.
Di lantai 3 terdapat tulisan seperti ini :
.
Lantai 3 : wanita di lantai ini memiliki pekerjaan, taat pada Tuhan, senang anak kecil dan cantik banget.
.
” Wow…”  Tetapi pikirannya masih penasaran dan terus naik
.

Lalu sampailah laki2 itu di lantai 4 dan terdapat tulisan :
.
Lantai 4 : Wanita di lantai ini yang memiliki pekerjaan, taat pada Tuhan, senang anak kecil, cantik Banget dan suka membantu Pekerjaan rumah.
.
”Ya ampun !” Dia berseru, ”Aku hampir tak percaya”
.
Dan dia tetap melanjutkan ke lantai 5 dan terdapat tulisan seperti ini :
.
Lantai 5 : wanita di lantai ini memiliki pekerjaan, taat pada Tuhan, senang anak kecil,cantik banget,suka membantu pekerjaan rumah, dan memiliki rasa Romantis
.
Dia tergoda untuk berhenti, tapi Rasa penasaran yg semakin tinggi kemudian membuat dia Melangkah kembali ke lantai 6 dan terdapat tulisan seperti ini :
.
Lantai 6 : Anda adalah pengunjung yang ke 787.567.999
.
- Tidak ada wanita di lantai ini. Lantai ini hanya semata-mata bukti untuk Anda yang tidak pernah puas
.
.
Terima kasih telah berbelanja di toko “istri”. Hati-hati ketika keluar toko dan semoga hari yang indah menyertai Anda.
.
Pesan moral ini bukan cuma Untuk Pria Tapi jg wanita
.
“Puaskanlah dirimu akan Pasangan yg sudah Tuhan berikan
.
Jgn terus mencari yg terbaik, tp jadikanlah yg baik yg sudah Allah sediakan
.
Dan bersyukurlah akan Pasanganmu saat ini krn itulah Pasangan yg terbaik bagi kamu Seumur hidupmu hingga maut Memisahkan
.
Semoga Yang Share Mendapatkan Pasangan Yang Setia Dan Rumah Tang Bahagia

Ilustrator: wagi att

#bukuislam
#busanamuslim
#herbalobat
#geraihambra

Kamis, 11 Februari 2016

🌓 Apakah Shalat Tahajud Harus Tidur Dulu ?

🌓 Apakah Shalat Tahajud Harus Tidur Dulu ?

Assalamualaikum,

afwan ustad boleh kah sholat tahajud tanpa harus tidur dulu misal nya setelah sholat isyak ?

jawaban :

AL USTADZ KARISMAN HAFIDZAHULLAH

Waalaikumussalam.

Tahajud berasal dari kata at-Tahajjud yang mengandung makna bangun dari tidur di waktu malam (Syarh Shahih al-Bukhari libnil Baththol (3/108)).

Karena itu, istilah tahajud diperuntukkan untuk sholat malam setelah bangun tidur. Ini adalah pendapat dari Alqomah, al-Aswad, dan Ibrahim an-Nakhai (dinukil dan dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya surat al-Isra’ ayat 79).

Sedangkan jika kita melakukan sholat selain sunnah Rowatib setelah sholat Isya', maka secara istilah tidak disebut tahajjud. Tetapi tetap masuk dalam kategori qiyaamul lail (sholat malam). Qiyaamul Lail seyogyanya berjumlah rokaat total ganjil, sehingga disebut sebagai witir.

Sebagian Sahabat Nabi, seperti Abu Hurairah memiliki kebiasaan sholat witir sebelum tidur. Demikian juga bagi orang yg khawatir sulit bangun sebelum Subuh, sebaiknya sholat malam sebelum tidur.

Jika ada pilihan yg sama-sama mudah, sholat qiyamul lail setelah sholat Isya sebelum tidur, atau sebaiknya nanti setelah bangun tidur sebelum Subuh. Yg lebih utama adalah setelah bangun tidur sebelum Subuh.

مَنْ خَافَ أَنْ لَا يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ أَوَّلَهُ وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَهُ فَلْيُوتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ فَإِنَّ صَلَاةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ

Barangsiapa yang khawatir tidak bisa bangun di akhir malam maka berwitirlah di awal (malam). Barangsiapa yang ingin bangun di akhir malam, maka berwitirlah di akhir malam karena sholat di akhir malam disaksikan (para Malaikat) dan yang demikian lebih utama (H.R Muslim).

Di ambil dari tanya jawab ikhwan bersama ustadz karisman hafidzahullah d grup al-i'tishom

Di sebebar luaskan

Berbagi ilmu syar'i

Baca artikel terkait : http://www.happyislam.com/2016/02/tata-cara-pelaksanaan-shalat-malam.html

IJINKAN aku bicara tentang makna kecil partisipasi kita.

"Partisipasi"
(Salim A Fillah)

IJINKAN aku bicara tentang makna kecil partisipasi kita.

Mungkin kau adalah peserta atau juga bahkan adalah pengisi, ataupun sekedar orang yang pernah melihat dan menemui fenomena seperti ini, di zaman ini:

“… Ketika beliau keluar tiba-tiba beliau dapati para sahabat duduk dalam halaqoh (lingkaran). Beliau bertanya, “Apakah yang mendorong kalian duduk seperti ini?”

Mereka menjawab, “Kami duduk berdzikir dan memuji Alloh atas hidayah yang Alloh berikan sehingga kami memeluk Islam.”

Maka Rosululloh bertanya, “Demi Alloh, kalian tidak duduk melainkan untuk itu?”

Mereka menjawab, “Demi Alloh, kami tidak duduk kecuali untuk itu.” Maka beliau bersabda, “Sesungguhnya saya bertanya bukan karena ragu-ragu, tetapi Jibril datang kepadaku memberitahukan bahwa Alloh membanggakan kalian di depan para malaikat.” (HR. Muslim, dari Mu’awiyah)

Di tempat inilah disambung keteladanan sejarah

Di forum seperti yang dicontohkan para sahabat, para ghuroba’(orang-orang terasing) masa kini mewujudkan sabda Nabi bahwa mu’min itu cermin bagi Mu’min yang lain.

Mereka saling bercermin diri, tentang perkembangan tilawah al-Qur’an dan hafalannya, tentang sholat malamnya, dan tentang puasa sunnahnya.

Semangatnya tergugah mendengar yang lain menyalip amal-amalnya.

Ia jadi malu mendapati dirinya tak bisa mengatur waktu.

Mereka saling menyebutkan kabar gembira sampai semua merasa bahagia mendengar salah seorang sahabatnya mendapat nilai A.
Mereka saling berbagi agar masalah tak terasa sendiri dihadapi.
Ada yang bercerita tentang amanah-amanah da’wahnya yang katanya semakin mengasyikkan, atau semakin menantang. Yang berkeluasan rizqi membawakan pisang goreng yang tadi pagi dibuat ibunya, atau mangga yang dipetik dari halaman rumahnya.

Sesekali mereka ganti setting forumnya, dengan menginap agar bisa lebih panjang bercengkerama.
Lalu mereka dirikan Qiyamullail bersama. Pernah juga mereka lakukan wisata. Mereka bertemu di tempat rekreasi yang sepi, mengingat Ilahi dan mengagumi kebesaran ciptaan-Nya.
Mereka berdiskusi disaksikan air terjun, punggung bukit bercemara, hutan berlembah yang menawan, atau pasir pantai memutih diterpa gelombang.

Tentu saja yang jauh lebih utama, mereka mengingat Alloh dalam sebuah kumpulan, agar Alloh mengingat mereka dalam kumpulan yang lebih baik.
Mereka baca kitabulloh, mereka kupas isinya, mereka dapati bahwa al-Qur’an menyuruh mereka bersaudara dalam cinta dan mentauhidkan Alloh Subhanahu Wa Ta’ala.

Tidak ada tekad ketika bubar dan saling bersalaman mendoakan, selain agar yang mereka bahas menjadi amal kenyataan.

“Tidaklah suatu kaum berjumpa di suatu rumah dari rumah-rumah Alloh, mereka membaca kitabulloh, dan mempelaiarinya di antara mereka, kecuali ketenangan turun kepada mereka, rohmat meliputi majelisnya, Malaikat menaungi mereka, dan Alloh menyebut-nyebut mereka dengan bangga di depan malaikat-malaikat yang ada di sisi-Nya.” (HR. Muslim, dari Abu Huroiroh)

Di sana bisa kita jumpai wajah saudara yang jenaka, yang pendiam, dan yang tampak lelah karena banyak amanah.

Tapi Subhanalloh… Ini adalah cahaya yang bergetar di antara mereka. Ia bergetar untuk menjadi refleksi jiwa, percepatan perbaikan diri dan perbaikan ummat dalam medium atmosfer cinta.

Saya tak ragu lagi menyebut forum yang terkenal dengan kata liqo’at (pertemuan) ini, sebagai Getar Cahaya di Atmosfer Cinta.

Bahkan ketika suatu waktu Anda yang belum pernah mengikuti forum ini tidak sengaja menemui mereka sedang ada di Masjid Kampus, Musholla Sekolah, rumah seorang Ustadz atau markaz da’wah, lalu Anda bergabung dengan niat serta keperluan yang lain atau mungkin karena iseng saja, Anda takkan pernah kecewa. Percayalah, Anda tak akan pernah kecewa.

Seorang malaikat berkata, “Robbi, di majelis itu ada orang yang bukan dari golongan mereka, hanya bertepatan ada keperluan maka datang ke majelis itu.” Alloh berfirman, “Mereka adalah ahli majelis yang tiada akan kecewa siapa pun yang duduk membersamainya!” (Muttafaq ‘Alaih, dari Abu Huroiroh)

Maka demi Alloh, apa yang Anda tunggu?

Perkenalkan diri Anda pada mereka sejelas-jela
snya.

Katakan, Anda ingin bergabung dengan pertemuan pekanan mereka.

Kalau majelis itu sudah terlalu sesak, lalu efektifitasnya drop, pengasuh majelis itu pasti akan mencarikan sebuah majelis lain yang indah untuk Anda.

Kalau di sekolah Anda dan di kampus Anda ada kegiatan bernama Mentoring, Asistensi Agama Islam atau nama lainnya, barangkali itu pintu lain bagi Anda memasuki Getar Cahaya di Atmosfer Cinta ini.

Setelah itu, bisa jadi Alloh akan menguji Anda. mungkin dengan perasaan Anda bahwa majelis ini tidak seperti yang Anda harapkan. Maka bersabarlah.

“Maka sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan.” (Qs. Alam Nasyroh [94]: 5-6)

***
Beberapa teman  mengeluh mendapati beberapa saudaranya telah berubah ketika pindah ke lain kota.

Ada gambaran, betapa sulitnya menjaga istiqomah ketika jauh dari lingkungan iman semula.

Apa yang diceritakan Hanzholah ibn ar-Robi’, bisa menjadi ‘ibroh bahwa pertemuan sesaat demi sesaat dalam majelis ini adalah sarana penjaga konsistensi dan sikap istiqomah -yang kadang-kadang tanpa perlu kita sadari-.

Ketika Abu Bakr berkunjung dan menanyakan kabarnya, Hanzholah pun menjawab, “Hanzholah telah menjadi munafiq!”.

Terperanjat Abu Bakr, lalu ia berkata, “Subhanalloh, apa yang engkau ucapkan?”
Kata Hanzholah, “Kita sering bersama Rosululloh, beliau mengingatkan kita tentang surga dan neraka seolah-olah kita melihatnya dengan mata kepala.
Namun ketika kita keluar dari sisi Rosululloh, bercengkerama dengan anak-anak serta sibuk dengan pekerjaan, kita pun banyak melupakannya.”

“Demi Alloh! Sesungguhnya kami juga merasakan hal seperti ini!”, sahut Abu Bakr membenarkan.

Tak ada curhat yang lebih indah daripada curhat para sahabat. Ya, mereka pun kembali pada Murobbi-nya, Rosululloh Mushthofa.

Dan beliau pun menenteramkan hati para binaannya.

“… Demi Dzat yang jiwaku ditangan-Nya. Seandainya kalian selalu dalam keadaan sebagaimana ketika kalian ada di sisiku dan dalam berdzikir, niscaya Malaikat akan menjabat tangan kalian di tempat-tempat tidur, dan di jalan-jalan kalian. Akan tetapi sesaat demi sesaat, wahai Hanzholah! Sesaat demi sesaat, wahai Hanzhalah. Sesaat demi sesaat!”(HR. Muslim dalam Shohihnya, dari Hanzholah)

Akal sehat para peserta liqo’at menuntun mereka untuk menghayati bahwa majelis ini adalah bagian paling asasi dari hidup mereka.

Ada waktu yang harus diprioritaskan untuknya lebih dari segala aktivitas lainnya.

Kaidahnya jelas: kalau ia tak bersama mereka, ia takkan bersama siapa-siapa; kalau mereka tak bersama dengannya, mereka pasti bersama dengan orang selain dia.

Kadang kita tak merasakan nikmatnya majelis kebersamaan ini.

Padahal, orang lain akan melihat kita berubah dan semakin buruk saat kita berhenti menghadirinya untuk suatu waktu yang cukup lama.

Memang, ia hanya sepekan sekali.

Tetapi bagaimanapun kita tahu, majelis ini adalah majelis ‘ilmu dan dzikir yang tak berhenti sampai tutup usia.

Ketika mereka menutup pertemuan dan pergi untuk keperluan masing-masing, lingkaran itu hanya melebar. Ia melebar seluas aktivitas mereka.

Tentu. Untuk berpartisipasi bagi ummat dalam jangkauannya, mendistribusikan kesholihan yang terasa manis direguknya

#back to melingkar

Sabtu, 30 Januari 2016

IJINKAN aku bicara tentang makna kecil partisipasi kita.

"Partisipasi"
(Salim A Fillah)

IJINKAN aku bicara tentang makna kecil partisipasi kita.

Mungkin kau adalah peserta atau juga bahkan adalah pengisi, ataupun sekedar orang yang pernah melihat dan menemui fenomena seperti ini, di zaman ini:

“… Ketika beliau keluar tiba-tiba beliau dapati para sahabat duduk dalam halaqoh (lingkaran). Beliau bertanya, “Apakah yang mendorong kalian duduk seperti ini?”

Mereka menjawab, “Kami duduk berdzikir dan memuji Alloh atas hidayah yang Alloh berikan sehingga kami memeluk Islam.”

Maka Rosululloh bertanya, “Demi Alloh, kalian tidak duduk melainkan untuk itu?”

Mereka menjawab, “Demi Alloh, kami tidak duduk kecuali untuk itu.” Maka beliau bersabda, “Sesungguhnya saya bertanya bukan karena ragu-ragu, tetapi Jibril datang kepadaku memberitahukan bahwa Alloh membanggakan kalian di depan para malaikat.” (HR. Muslim, dari Mu’awiyah)

Di tempat inilah disambung keteladanan sejarah

Di forum seperti yang dicontohkan para sahabat, para ghuroba’(orang-orang terasing) masa kini mewujudkan sabda Nabi bahwa mu’min itu cermin bagi Mu’min yang lain.

Mereka saling bercermin diri, tentang perkembangan tilawah al-Qur’an dan hafalannya, tentang sholat malamnya, dan tentang puasa sunnahnya.

Semangatnya tergugah mendengar yang lain menyalip amal-amalnya.

Ia jadi malu mendapati dirinya tak bisa mengatur waktu.

Mereka saling menyebutkan kabar gembira sampai semua merasa bahagia mendengar salah seorang sahabatnya mendapat nilai A.
Mereka saling berbagi agar masalah tak terasa sendiri dihadapi.
Ada yang bercerita tentang amanah-amanah da’wahnya yang katanya semakin mengasyikkan, atau semakin menantang. Yang berkeluasan rizqi membawakan pisang goreng yang tadi pagi dibuat ibunya, atau mangga yang dipetik dari halaman rumahnya.

Sesekali mereka ganti setting forumnya, dengan menginap agar bisa lebih panjang bercengkerama.
Lalu mereka dirikan Qiyamullail bersama. Pernah juga mereka lakukan wisata. Mereka bertemu di tempat rekreasi yang sepi, mengingat Ilahi dan mengagumi kebesaran ciptaan-Nya.
Mereka berdiskusi disaksikan air terjun, punggung bukit bercemara, hutan berlembah yang menawan, atau pasir pantai memutih diterpa gelombang.

Tentu saja yang jauh lebih utama, mereka mengingat Alloh dalam sebuah kumpulan, agar Alloh mengingat mereka dalam kumpulan yang lebih baik.
Mereka baca kitabulloh, mereka kupas isinya, mereka dapati bahwa al-Qur’an menyuruh mereka bersaudara dalam cinta dan mentauhidkan Alloh Subhanahu Wa Ta’ala.

Tidak ada tekad ketika bubar dan saling bersalaman mendoakan, selain agar yang mereka bahas menjadi amal kenyataan.

“Tidaklah suatu kaum berjumpa di suatu rumah dari rumah-rumah Alloh, mereka membaca kitabulloh, dan mempelaiarinya di antara mereka, kecuali ketenangan turun kepada mereka, rohmat meliputi majelisnya, Malaikat menaungi mereka, dan Alloh menyebut-nyebut mereka dengan bangga di depan malaikat-malaikat yang ada di sisi-Nya.” (HR. Muslim, dari Abu Huroiroh)

Di sana bisa kita jumpai wajah saudara yang jenaka, yang pendiam, dan yang tampak lelah karena banyak amanah.

Tapi Subhanalloh… Ini adalah cahaya yang bergetar di antara mereka. Ia bergetar untuk menjadi refleksi jiwa, percepatan perbaikan diri dan perbaikan ummat dalam medium atmosfer cinta.

Saya tak ragu lagi menyebut forum yang terkenal dengan kata liqo’at (pertemuan) ini, sebagai Getar Cahaya di Atmosfer Cinta.

Bahkan ketika suatu waktu Anda yang belum pernah mengikuti forum ini tidak sengaja menemui mereka sedang ada di Masjid Kampus, Musholla Sekolah, rumah seorang Ustadz atau markaz da’wah, lalu Anda bergabung dengan niat serta keperluan yang lain atau mungkin karena iseng saja, Anda takkan pernah kecewa. Percayalah, Anda tak akan pernah kecewa.

Seorang malaikat berkata, “Robbi, di majelis itu ada orang yang bukan dari golongan mereka, hanya bertepatan ada keperluan maka datang ke majelis itu.” Alloh berfirman, “Mereka adalah ahli majelis yang tiada akan kecewa siapa pun yang duduk membersamainya!” (Muttafaq ‘Alaih, dari Abu Huroiroh)

Maka demi Alloh, apa yang Anda tunggu?

Perkenalkan diri Anda pada mereka sejelas-jela
snya.

Katakan, Anda ingin bergabung dengan pertemuan pekanan mereka.

Kalau majelis itu sudah terlalu sesak, lalu efektifitasnya drop, pengasuh majelis itu pasti akan mencarikan sebuah majelis lain yang indah untuk Anda.

Kalau di sekolah Anda dan di kampus Anda ada kegiatan bernama Mentoring, Asistensi Agama Islam atau nama lainnya, barangkali itu pintu lain bagi Anda memasuki Getar Cahaya di Atmosfer Cinta ini.

Setelah itu, bisa jadi Alloh akan menguji Anda. mungkin dengan perasaan Anda bahwa majelis ini tidak seperti yang Anda harapkan. Maka bersabarlah.

“Maka sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan.” (Qs. Alam Nasyroh [94]: 5-6)

***
Beberapa teman  mengeluh mendapati beberapa saudaranya telah berubah ketika pindah ke lain kota.

Ada gambaran, betapa sulitnya menjaga istiqomah ketika jauh dari lingkungan iman semula.

Apa yang diceritakan Hanzholah ibn ar-Robi’, bisa menjadi ‘ibroh bahwa pertemuan sesaat demi sesaat dalam majelis ini adalah sarana penjaga konsistensi dan sikap istiqomah -yang kadang-kadang tanpa perlu kita sadari-.

Ketika Abu Bakr berkunjung dan menanyakan kabarnya, Hanzholah pun menjawab, “Hanzholah telah menjadi munafiq!”.

Terperanjat Abu Bakr, lalu ia berkata, “Subhanalloh, apa yang engkau ucapkan?”
Kata Hanzholah, “Kita sering bersama Rosululloh, beliau mengingatkan kita tentang surga dan neraka seolah-olah kita melihatnya dengan mata kepala.
Namun ketika kita keluar dari sisi Rosululloh, bercengkerama dengan anak-anak serta sibuk dengan pekerjaan, kita pun banyak melupakannya.”

“Demi Alloh! Sesungguhnya kami juga merasakan hal seperti ini!”, sahut Abu Bakr membenarkan.

Tak ada curhat yang lebih indah daripada curhat para sahabat. Ya, mereka pun kembali pada Murobbi-nya, Rosululloh Mushthofa.

Dan beliau pun menenteramkan hati para binaannya.

“… Demi Dzat yang jiwaku ditangan-Nya. Seandainya kalian selalu dalam keadaan sebagaimana ketika kalian ada di sisiku dan dalam berdzikir, niscaya Malaikat akan menjabat tangan kalian di tempat-tempat tidur, dan di jalan-jalan kalian. Akan tetapi sesaat demi sesaat, wahai Hanzholah! Sesaat demi sesaat, wahai Hanzhalah. Sesaat demi sesaat!”(HR. Muslim dalam Shohihnya, dari Hanzholah)

Akal sehat para peserta liqo’at menuntun mereka untuk menghayati bahwa majelis ini adalah bagian paling asasi dari hidup mereka.

Ada waktu yang harus diprioritaskan untuknya lebih dari segala aktivitas lainnya.

Kaidahnya jelas: kalau ia tak bersama mereka, ia takkan bersama siapa-siapa; kalau mereka tak bersama dengannya, mereka pasti bersama dengan orang selain dia.

Kadang kita tak merasakan nikmatnya majelis kebersamaan ini.

Padahal, orang lain akan melihat kita berubah dan semakin buruk saat kita berhenti menghadirinya untuk suatu waktu yang cukup lama.

Memang, ia hanya sepekan sekali.

Tetapi bagaimanapun kita tahu, majelis ini adalah majelis ‘ilmu dan dzikir yang tak berhenti sampai tutup usia.

Ketika mereka menutup pertemuan dan pergi untuk keperluan masing-masing, lingkaran itu hanya melebar. Ia melebar seluas aktivitas mereka.

Tentu. Untuk berpartisipasi bagi ummat dalam jangkauannya, mendistribusikan kesholihan yang terasa manis direguknya

#back to melingkar

MELURUSKAN PENDAPAT DRS. AHMAD SUKINA (MTA) TENTANG SALAT JUMAT

MELURUSKAN PENDAPAT DRS. AHMAD SUKINA (MTA) TENTANG SALAT JUMAT
Dikutip dari Kajian Islam Hari Selasa oleh Ibnu Sholeh MA, MPI
Ditulis oleh Argo Ganda Gumilar A.md, AK
Selasa (26/1), Drs. Ahmad Sukina merupakan pimpinan Majelis Tafsir Al-Qur’an yang bertempat di Surakarta. Beberapa waktu lalu di penghujung tahun 2014, beliau mengeluarkan beberapa fatwanya bahwa laki-laki boleh melaksankan salat Jumat sendirian ( https://youtube.com/watch?v=UFkUIFdAXo ) dan wajib bagi wanita untuk melaksanakan salat Jumat ( https://youtube.com/watch?v=B5eBDHHMAzw ). Pendapat yang dikeluarkan oleh Drs. Ahmad Sukina bertentangan dengan pendapat jumhur ulama. Kita tahu ulama ahlussunnah wal jamaah bersepakat dengan landasan hadist shahih bahwa salat Jumat bagi laki-laki adalah wajib dan dilakukan berjamaah, sedangkan untuk kaum wanita salat Jumat merupakan hal yang tidak diwajibkan.
Firman Allah swt. dalam Al-Qur’an Surah Al-Jum’uah ayat 9: “Hai, orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkan jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. Bagi orang-orang inkarussunnah, Orang-orang beriman disini diartikan seluruh orang beriman baik laki-laki maupun perempuan. Makna sebenarnya dari orang-orang beriman tersebut adalah laki-laki yang telah memenuhi syarat-syarat sebagai mukallaf untuk melaksanakan salat Jumat, karena dalam konteks ini terdapat dalil yang mengkhususkan dan memerinci terhadap permasalahan tersebut, sehingga haruslah didudukkan sesuai dalil-dalil yang mengaturnya. Hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud menjelaskan tentang siapa saja yang tidak wajib melaksanakan salat Jumat: “Salat Jumat wajib dilakukan setiap muslim secara berjamaah, kecuali empat golongan, yaitu hamba sahaya, wanita, anak kecil, dan orang yang sakit” (H.R Abu Dawud). Dari Al-Qur’an Surah Al-Jumuah ayat 9 dan hadist tersebut jelas bahwa hukum salat Jumat wajib dilaksanakan secara berjamaah dengan syarat mukallaf atau berakal sehat, laki-laki, bermukim atau tidak dalam bepergian, merdeka atau bukan budak.
Berapakah jumlah jamaah salat Jumat? Sebagian ulama menyaratkan harus minimal 40 jamaah agar bisa dinyatakan sah. Sebagian ulama lain menyatakan dengan jumlah tertentu, seperti 2, 3, 4, 12, dan Imam Ahmad sendiri menyaratkan 50 orang sebagaimana disebutkan dalam Al Mughni.
1. Menurut Mahzab Hanafiah, jika telah hadir satu jamaah selain imam, maka sudah terhitung sebagai jamaah salat Jumat. Karena demikianlah minimalnya jamak. Dalil yang digunakan adalah seruan jamak dalam Q.S Al-Jumu’ah ayat 9: “...maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkan jual beli...”. Seruan dalam ayat ini dengan panggilan jamak dan minimal jamak adalah dua orang.
2. Menurut Mahzab Malikiyah, jamaah salat Jumat berjumlah 12 orang dari orang-orang yang diharuskan menghadirinya dengan dalil dari Jabir r.a: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri berkhutbah pada hari Jumat, lalu datanglah rombongan dari Syam, lalu orang-orang pergi menemuinya sehingga tidak tersisa kecuali dua belas orang” (H.R Muslim: 863).
3. Menurut Mahzab Syafi’iyah dan Hambali, syarat jamaah salat Jumat adalah 40 orang dari yang diwajibkan menghadiri salat Jumat dengan dalil dari Ka’ab bin Malik r.a: “As’ad bin Zararah adalah orang pertama yang mengadakan salat Jumat bagi kami di daerah Hazmi An Nabit dari harrah Bani Bayadhah di daerah Naqi’ yang terkenal dengan Naqi’ Al Khadhamat. Saya bertanya kepadanya, “Waktu itu ada berapa orang”. Dia menjawab, “Empat puluh” (H.R Abu Daud: 1069 dan Ibnu Majah: 1082. Syaikh Albani menyatakan bahwa hadist ini hasan). Begitu pula ditarik dari hadist Jabir r.a: Telah berlalu sunnah (ajaran Rasul) bahwa setiap empat puluh orang ke atas diwajibkan salat Jumat (H.R Al Baihaqi dalam Al Kubro 3: 177). Hadist ini dho’if atau lemah sebagaimana di dho’ifkan oleh Syaikh Albani dalam Irwanul Gholil 603. Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Talkhish Habir 2: 567 berkata bahwa di dalamnya terdapat Abdul Aziz dimana Imam Ahmad berkata bahwa hadistnya dibuang karena ia adalah perowi dusta dan pemalsu hadist, menurut An Nasai ia tidak tsiqoh, menurut Ad Daruquthni ia adalah munkarul hadist. Sedangkan, untuk hadist dari Ka’ab bin Malik di atas hanya menjelaskan keadaan dan tidak menunjukkan jumlah jamaah yang harus disyaratkan. Adapun hadist dalam Mahzab Malikiyah tentang 12 jamaah, maka hadist ini tidak dapat dijadikan dalil karena terjadi tanpa sengaja dan juga terdapat kemungkinan sebagiannya kembali ke masjid setelah menemui tamu dari Syam tersebut. Adapun pendapat Imam Ahmad yang menyatakan 50 orang, namun hadistnya lemah sehingga tidak dijadikan pendukung, berikut adalah hadistnya. Dari Abu Umamah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Diwajibkan Jumat pada lima puluh orang dan tidak diwajibkan jika kurang dari itu” (H.R Ad Daruquthni dalam sunannya 2: 111 Hadistnya lemah, di sanadnya terdapat Ja’far bin Az Zubair, seorang matruk). Begitu juga hadist dari Abu Salamah, ia bertanya kepada Abu Hurairah, “Berapa jumlah orang yang diwajibkan salat Jumat jamaah? Abu Hurairah menjawab, “Ketika sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjumlah lima puluh, Rasulullah mengadakan salat Jumat” (Disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al Mughni 2: 171). Al Baihaqi berkata, “Telah diriwayatkan dalam permasalahan ini hadist tentang jumlah lima puluh, namun isnadnya tidak shahih” (Sunan Al Kubra 3: 255).
Setelah kita mencermati kumpulan hadist di atas tentang jumlah jamaah dalam salat jumat, di dapat kesimpulan menurut hadist yang shahih, jamaah salat jumat tidak berbeda dengan jamaah salat lainnya. Ada ulama yang mengatakan dua, namun mayoritas ulama mengatakan minimal jamak adalah tiga (Lihat catatan kaki Syarh ‘Umdatul Fiqh 1: 396). Artinya sah dilakukan oleh dua orang atau lebih karena sudah termasuk jamak. Asy Syaukani rahimahulullah berkata, “salat Jumat adalah seperti salat jamaah lainnya, yang membedakannya adalah adanya khutbah sebelumnya. Selain itu, tidak ada dalil yang menyatakan bahwa salat Jumat berbeda”. Perkataan ini adalah sanggahan untuk pendapat yang menyatakan bahwa salat Jumat disyaratkan dihadiri imam besar (dilakukan di negeri yang memiliki masjid jami’) dan dihadiri oleh jamaah tertentu. Dalam Ad Daroril Mudhiyyah Syarh Ad Darorul Bahiyyah 163 menyebutkan bahkan jika ada dua orang melakukan salat Jumat di suatu tempat yang tidak ada jamaah lainnya, maka mereka telah memenuhi kewajiban.

IJINKAN aku bicara tentang makna kecil partisipasi kita.

"Partisipasi"
(Salim A Fillah)

IJINKAN aku bicara tentang makna kecil partisipasi kita.

Mungkin kau adalah peserta atau juga bahkan adalah pengisi, ataupun sekedar orang yang pernah melihat dan menemui fenomena seperti ini, di zaman ini:

“… Ketika beliau keluar tiba-tiba beliau dapati para sahabat duduk dalam halaqoh (lingkaran). Beliau bertanya, “Apakah yang mendorong kalian duduk seperti ini?”

Mereka menjawab, “Kami duduk berdzikir dan memuji Alloh atas hidayah yang Alloh berikan sehingga kami memeluk Islam.”

Maka Rosululloh bertanya, “Demi Alloh, kalian tidak duduk melainkan untuk itu?”

Mereka menjawab, “Demi Alloh, kami tidak duduk kecuali untuk itu.” Maka beliau bersabda, “Sesungguhnya saya bertanya bukan karena ragu-ragu, tetapi Jibril datang kepadaku memberitahukan bahwa Alloh membanggakan kalian di depan para malaikat.” (HR. Muslim, dari Mu’awiyah)

Di tempat inilah disambung keteladanan sejarah

Di forum seperti yang dicontohkan para sahabat, para ghuroba’(orang-orang terasing) masa kini mewujudkan sabda Nabi bahwa mu’min itu cermin bagi Mu’min yang lain.

Mereka saling bercermin diri, tentang perkembangan tilawah al-Qur’an dan hafalannya, tentang sholat malamnya, dan tentang puasa sunnahnya.

Semangatnya tergugah mendengar yang lain menyalip amal-amalnya.

Ia jadi malu mendapati dirinya tak bisa mengatur waktu.

Mereka saling menyebutkan kabar gembira sampai semua merasa bahagia mendengar salah seorang sahabatnya mendapat nilai A.
Mereka saling berbagi agar masalah tak terasa sendiri dihadapi.
Ada yang bercerita tentang amanah-amanah da’wahnya yang katanya semakin mengasyikkan, atau semakin menantang. Yang berkeluasan rizqi membawakan pisang goreng yang tadi pagi dibuat ibunya, atau mangga yang dipetik dari halaman rumahnya.

Sesekali mereka ganti setting forumnya, dengan menginap agar bisa lebih panjang bercengkerama.
Lalu mereka dirikan Qiyamullail bersama. Pernah juga mereka lakukan wisata. Mereka bertemu di tempat rekreasi yang sepi, mengingat Ilahi dan mengagumi kebesaran ciptaan-Nya.
Mereka berdiskusi disaksikan air terjun, punggung bukit bercemara, hutan berlembah yang menawan, atau pasir pantai memutih diterpa gelombang.

Tentu saja yang jauh lebih utama, mereka mengingat Alloh dalam sebuah kumpulan, agar Alloh mengingat mereka dalam kumpulan yang lebih baik.
Mereka baca kitabulloh, mereka kupas isinya, mereka dapati bahwa al-Qur’an menyuruh mereka bersaudara dalam cinta dan mentauhidkan Alloh Subhanahu Wa Ta’ala.

Tidak ada tekad ketika bubar dan saling bersalaman mendoakan, selain agar yang mereka bahas menjadi amal kenyataan.

“Tidaklah suatu kaum berjumpa di suatu rumah dari rumah-rumah Alloh, mereka membaca kitabulloh, dan mempelaiarinya di antara mereka, kecuali ketenangan turun kepada mereka, rohmat meliputi majelisnya, Malaikat menaungi mereka, dan Alloh menyebut-nyebut mereka dengan bangga di depan malaikat-malaikat yang ada di sisi-Nya.” (HR. Muslim, dari Abu Huroiroh)

Di sana bisa kita jumpai wajah saudara yang jenaka, yang pendiam, dan yang tampak lelah karena banyak amanah.

Tapi Subhanalloh… Ini adalah cahaya yang bergetar di antara mereka. Ia bergetar untuk menjadi refleksi jiwa, percepatan perbaikan diri dan perbaikan ummat dalam medium atmosfer cinta.

Saya tak ragu lagi menyebut forum yang terkenal dengan kata liqo’at (pertemuan) ini, sebagai Getar Cahaya di Atmosfer Cinta.

Bahkan ketika suatu waktu Anda yang belum pernah mengikuti forum ini tidak sengaja menemui mereka sedang ada di Masjid Kampus, Musholla Sekolah, rumah seorang Ustadz atau markaz da’wah, lalu Anda bergabung dengan niat serta keperluan yang lain atau mungkin karena iseng saja, Anda takkan pernah kecewa. Percayalah, Anda tak akan pernah kecewa.

Seorang malaikat berkata, “Robbi, di majelis itu ada orang yang bukan dari golongan mereka, hanya bertepatan ada keperluan maka datang ke majelis itu.” Alloh berfirman, “Mereka adalah ahli majelis yang tiada akan kecewa siapa pun yang duduk membersamainya!” (Muttafaq ‘Alaih, dari Abu Huroiroh)

Maka demi Alloh, apa yang Anda tunggu?

Perkenalkan diri Anda pada mereka sejelas-jela
snya.

Katakan, Anda ingin bergabung dengan pertemuan pekanan mereka.

Kalau majelis itu sudah terlalu sesak, lalu efektifitasnya drop, pengasuh majelis itu pasti akan mencarikan sebuah majelis lain yang indah untuk Anda.

Kalau di sekolah Anda dan di kampus Anda ada kegiatan bernama Mentoring, Asistensi Agama Islam atau nama lainnya, barangkali itu pintu lain bagi Anda memasuki Getar Cahaya di Atmosfer Cinta ini.

Setelah itu, bisa jadi Alloh akan menguji Anda. mungkin dengan perasaan Anda bahwa majelis ini tidak seperti yang Anda harapkan. Maka bersabarlah.

“Maka sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan.” (Qs. Alam Nasyroh [94]: 5-6)

***
Beberapa teman  mengeluh mendapati beberapa saudaranya telah berubah ketika pindah ke lain kota.

Ada gambaran, betapa sulitnya menjaga istiqomah ketika jauh dari lingkungan iman semula.

Apa yang diceritakan Hanzholah ibn ar-Robi’, bisa menjadi ‘ibroh bahwa pertemuan sesaat demi sesaat dalam majelis ini adalah sarana penjaga konsistensi dan sikap istiqomah -yang kadang-kadang tanpa perlu kita sadari-.

Ketika Abu Bakr berkunjung dan menanyakan kabarnya, Hanzholah pun menjawab, “Hanzholah telah menjadi munafiq!”.

Terperanjat Abu Bakr, lalu ia berkata, “Subhanalloh, apa yang engkau ucapkan?”
Kata Hanzholah, “Kita sering bersama Rosululloh, beliau mengingatkan kita tentang surga dan neraka seolah-olah kita melihatnya dengan mata kepala.
Namun ketika kita keluar dari sisi Rosululloh, bercengkerama dengan anak-anak serta sibuk dengan pekerjaan, kita pun banyak melupakannya.”

“Demi Alloh! Sesungguhnya kami juga merasakan hal seperti ini!”, sahut Abu Bakr membenarkan.

Tak ada curhat yang lebih indah daripada curhat para sahabat. Ya, mereka pun kembali pada Murobbi-nya, Rosululloh Mushthofa.

Dan beliau pun menenteramkan hati para binaannya.

“… Demi Dzat yang jiwaku ditangan-Nya. Seandainya kalian selalu dalam keadaan sebagaimana ketika kalian ada di sisiku dan dalam berdzikir, niscaya Malaikat akan menjabat tangan kalian di tempat-tempat tidur, dan di jalan-jalan kalian. Akan tetapi sesaat demi sesaat, wahai Hanzholah! Sesaat demi sesaat, wahai Hanzhalah. Sesaat demi sesaat!”(HR. Muslim dalam Shohihnya, dari Hanzholah)

Akal sehat para peserta liqo’at menuntun mereka untuk menghayati bahwa majelis ini adalah bagian paling asasi dari hidup mereka.

Ada waktu yang harus diprioritaskan untuknya lebih dari segala aktivitas lainnya.

Kaidahnya jelas: kalau ia tak bersama mereka, ia takkan bersama siapa-siapa; kalau mereka tak bersama dengannya, mereka pasti bersama dengan orang selain dia.

Kadang kita tak merasakan nikmatnya majelis kebersamaan ini.

Padahal, orang lain akan melihat kita berubah dan semakin buruk saat kita berhenti menghadirinya untuk suatu waktu yang cukup lama.

Memang, ia hanya sepekan sekali.

Tetapi bagaimanapun kita tahu, majelis ini adalah majelis ‘ilmu dan dzikir yang tak berhenti sampai tutup usia.

Ketika mereka menutup pertemuan dan pergi untuk keperluan masing-masing, lingkaran itu hanya melebar. Ia melebar seluas aktivitas mereka.

Tentu. Untuk berpartisipasi bagi ummat dalam jangkauannya, mendistribusikan kesholihan yang terasa manis direguknya

#back to melingkar

Selasa, 26 Januari 2016

MELURUSKAN PENDAPAT DRS. AHMAD SUKINA (MTA) TENTANG SALAT JUMAT

MELURUSKAN PENDAPAT DRS. AHMAD SUKINA (MTA) TENTANG SALAT JUMAT
Dikutip dari Kajian Islam Hari Selasa oleh Ibnu Sholeh MA, MPI
Ditulis oleh Argo Ganda Gumilar A.md, AK
Selasa (26/1), Drs. Ahmad Sukina merupakan pimpinan Majelis Tafsir Al-Qur’an yang bertempat di Surakarta. Beberapa waktu lalu di penghujung tahun 2014, beliau mengeluarkan beberapa fatwanya bahwa laki-laki boleh melaksankan salat Jumat sendirian ( https://youtube.com/watch?v=UFkUIFdAXo ) dan wajib bagi wanita untuk melaksanakan salat Jumat ( https://youtube.com/watch?v=B5eBDHHMAzw ). Pendapat yang dikeluarkan oleh Drs. Ahmad Sukina bertentangan dengan pendapat jumhur ulama. Kita tahu ulama ahlussunnah wal jamaah bersepakat dengan landasan hadist shahih bahwa salat Jumat bagi laki-laki adalah wajib dan dilakukan berjamaah, sedangkan untuk kaum wanita salat Jumat merupakan hal yang tidak diwajibkan.
Firman Allah swt. dalam Al-Qur’an Surah Al-Jum’uah ayat 9: “Hai, orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkan jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. Bagi orang-orang inkarussunnah, Orang-orang beriman disini diartikan seluruh orang beriman baik laki-laki maupun perempuan. Makna sebenarnya dari orang-orang beriman tersebut adalah laki-laki yang telah memenuhi syarat-syarat sebagai mukallaf untuk melaksanakan salat Jumat, karena dalam konteks ini terdapat dalil yang mengkhususkan dan memerinci terhadap permasalahan tersebut, sehingga haruslah didudukkan sesuai dalil-dalil yang mengaturnya. Hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud menjelaskan tentang siapa saja yang tidak wajib melaksanakan salat Jumat: “Salat Jumat wajib dilakukan setiap muslim secara berjamaah, kecuali empat golongan, yaitu hamba sahaya, wanita, anak kecil, dan orang yang sakit” (H.R Abu Dawud). Dari Al-Qur’an Surah Al-Jumuah ayat 9 dan hadist tersebut jelas bahwa hukum salat Jumat wajib dilaksanakan secara berjamaah dengan syarat mukallaf atau berakal sehat, laki-laki, bermukim atau tidak dalam bepergian, merdeka atau bukan budak.
Berapakah jumlah jamaah salat Jumat? Sebagian ulama menyaratkan harus minimal 40 jamaah agar bisa dinyatakan sah. Sebagian ulama lain menyatakan dengan jumlah tertentu, seperti 2, 3, 4, 12, dan Imam Ahmad sendiri menyaratkan 50 orang sebagaimana disebutkan dalam Al Mughni.
1. Menurut Mahzab Hanafiah, jika telah hadir satu jamaah selain imam, maka sudah terhitung sebagai jamaah salat Jumat. Karena demikianlah minimalnya jamak. Dalil yang digunakan adalah seruan jamak dalam Q.S Al-Jumu’ah ayat 9: “...maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkan jual beli...”. Seruan dalam ayat ini dengan panggilan jamak dan minimal jamak adalah dua orang.
2. Menurut Mahzab Malikiyah, jamaah salat Jumat berjumlah 12 orang dari orang-orang yang diharuskan menghadirinya dengan dalil dari Jabir r.a: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri berkhutbah pada hari Jumat, lalu datanglah rombongan dari Syam, lalu orang-orang pergi menemuinya sehingga tidak tersisa kecuali dua belas orang” (H.R Muslim: 863).
3. Menurut Mahzab Syafi’iyah dan Hambali, syarat jamaah salat Jumat adalah 40 orang dari yang diwajibkan menghadiri salat Jumat dengan dalil dari Ka’ab bin Malik r.a: “As’ad bin Zararah adalah orang pertama yang mengadakan salat Jumat bagi kami di daerah Hazmi An Nabit dari harrah Bani Bayadhah di daerah Naqi’ yang terkenal dengan Naqi’ Al Khadhamat. Saya bertanya kepadanya, “Waktu itu ada berapa orang”. Dia menjawab, “Empat puluh” (H.R Abu Daud: 1069 dan Ibnu Majah: 1082. Syaikh Albani menyatakan bahwa hadist ini hasan). Begitu pula ditarik dari hadist Jabir r.a: Telah berlalu sunnah (ajaran Rasul) bahwa setiap empat puluh orang ke atas diwajibkan salat Jumat (H.R Al Baihaqi dalam Al Kubro 3: 177). Hadist ini dho’if atau lemah sebagaimana di dho’ifkan oleh Syaikh Albani dalam Irwanul Gholil 603. Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Talkhish Habir 2: 567 berkata bahwa di dalamnya terdapat Abdul Aziz dimana Imam Ahmad berkata bahwa hadistnya dibuang karena ia adalah perowi dusta dan pemalsu hadist, menurut An Nasai ia tidak tsiqoh, menurut Ad Daruquthni ia adalah munkarul hadist. Sedangkan, untuk hadist dari Ka’ab bin Malik di atas hanya menjelaskan keadaan dan tidak menunjukkan jumlah jamaah yang harus disyaratkan. Adapun hadist dalam Mahzab Malikiyah tentang 12 jamaah, maka hadist ini tidak dapat dijadikan dalil karena terjadi tanpa sengaja dan juga terdapat kemungkinan sebagiannya kembali ke masjid setelah menemui tamu dari Syam tersebut. Adapun pendapat Imam Ahmad yang menyatakan 50 orang, namun hadistnya lemah sehingga tidak dijadikan pendukung, berikut adalah hadistnya. Dari Abu Umamah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Diwajibkan Jumat pada lima puluh orang dan tidak diwajibkan jika kurang dari itu” (H.R Ad Daruquthni dalam sunannya 2: 111 Hadistnya lemah, di sanadnya terdapat Ja’far bin Az Zubair, seorang matruk). Begitu juga hadist dari Abu Salamah, ia bertanya kepada Abu Hurairah, “Berapa jumlah orang yang diwajibkan salat Jumat jamaah? Abu Hurairah menjawab, “Ketika sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjumlah lima puluh, Rasulullah mengadakan salat Jumat” (Disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al Mughni 2: 171). Al Baihaqi berkata, “Telah diriwayatkan dalam permasalahan ini hadist tentang jumlah lima puluh, namun isnadnya tidak shahih” (Sunan Al Kubra 3: 255).
Setelah kita mencermati kumpulan hadist di atas tentang jumlah jamaah dalam salat jumat, di dapat kesimpulan menurut hadist yang shahih, jamaah salat jumat tidak berbeda dengan jamaah salat lainnya. Ada ulama yang mengatakan dua, namun mayoritas ulama mengatakan minimal jamak adalah tiga (Lihat catatan kaki Syarh ‘Umdatul Fiqh 1: 396). Artinya sah dilakukan oleh dua orang atau lebih karena sudah termasuk jamak. Asy Syaukani rahimahulullah berkata, “salat Jumat adalah seperti salat jamaah lainnya, yang membedakannya adalah adanya khutbah sebelumnya. Selain itu, tidak ada dalil yang menyatakan bahwa salat Jumat berbeda”. Perkataan ini adalah sanggahan untuk pendapat yang menyatakan bahwa salat Jumat disyaratkan dihadiri imam besar (dilakukan di negeri yang memiliki masjid jami’) dan dihadiri oleh jamaah tertentu. Dalam Ad Daroril Mudhiyyah Syarh Ad Darorul Bahiyyah 163 menyebutkan bahkan jika ada dua orang melakukan salat Jumat di suatu tempat yang tidak ada jamaah lainnya, maka mereka telah memenuhi kewajiban.